SANGKAL PUTUNG VS PASUKAN BREGODO MATARAM
Bayangkan suasana pasukan Bregodo Mataram di tengah perjalanan perang: jalan kaki berhari-hari, membawa tombak, perisai, dan beban logistik. Tanah licin, batu tajam , kadang harus berlari, kadang harus bertahan lama. Dalam kondisi seperti itu, cedera bukan hal istimewa, melainkan bagian dari hidup prajurit: kaki terkilir, bahu lepas, tulang tergeser, punggung salah tumpu. Jika dibiarkan, satu prajurit yang tumbang berarti barisan akan melemah.
Di sinilah sangkal putung mengambil peran penting. Bukan sekadar “mengobati”, tapi menjaga daya tempur pasukan. Dalam catatan tradisi Jawa, peran tabib lapangan ini sering disebut secara tersirat dalam naskah seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Centhini. Tidak ditulis dengan istilah medis modern, tapi digambarkan sebagai orang-orang yang “ngemong raga” menjaga tubuh prajurit agar tetap lurus, kuat, dan siap melanjutkan tugas.
Dalam tradisi Bregodo, ketika ada prajurit jatuh bukan karena luka senjata, melainkan karena raga melenceng dari porosnya, ia tidak langsung dipulangkan. Dibawa ke tepi barisan, dihamparkan kain, lalu ditangani oleh orang yang paham tubuh. Ototnya dilunakkan dulu dengan pijatan khas Bregodo: tekanan dalam, ritme tenang. Baru setelah itu, dilakukan pembenahan sendi dan tulang ala sangkal putung — tidak keras, tidak menghentak, gerakannya kecil tapi tepat.
Naskah Jawa kuno sering menggambarkan tubuh sebagai “susunan” atau “tata letak”. Jika susunan rusak, fungsinya juga ikut rusak. Ini sejalan dengan filosofi sangkal putung: yang dibenahi bukan sakitnya, melainkan letaknya. Dalam Serat Centhini, ada gambaran tentang orang yang “keseleo nanging kaselametake kanthi dipun wangsulaken panggonane” bukan disembuhkan dengan ramuan dulu, tapi dikembalikan ke tempatnya.
Menariknya, sangkal putung di lingkungan Bregodo bukan pekerjaan sembarang orang. Ia dijalankan oleh sosok yang matang pengalaman, tenang, dan beretika. Tangannya dipercaya, lisannya dijaga, karena salah sedikit, prajurit bisa cacat permanen. Maka sebelum tangan bergerak, kata-kata menenangkan lebih dulu. Ini bukan mantra mistik, tapi cara menurunkan ketegangan raga dan batin tubuh yang panik sulit dibenahi.
Setelah tulang dan sendi kembali ke tempatnya, pijat Bregodo digunakan lagi sebagai pengunci: otot diarahkan agar mengikuti posisi baru. Lalu prajurit tidak langsung kembali ke barisan depan , ia diberi waktu dan batasan gerak. Dalam bahasa hari ini, ini seperti rehabilitasi lapangan: sederhana, tapi fungsional.
Jika kita tarik benang merahnya, sangkal putung di pasukan Bregodo Mataram bukan ilmu pinggiran, melainkan bagian dari strategi perang. Prajurit kuat bukan cuma yang berani, tapi yang tubuhnya terjaga. Tanpa rumah sakit dan alat canggih, leluhur Jawa sudah membangun sistem penanganan cedera berbasis struktur, pengalaman, dan adab.
Pertanyaannya sekarang: ketika ilmu ini diwariskan ke generasi hari ini, apakah ia akan berhenti sebagai cerita, atau justru dihidupkan kembali sebagai identitas pengobatan Nusantara yang rasional, berakar, dan bertanggung jawab?
Penulis:Sufyan Al Kayis
Foto:Istimewa














